ABNORMAL
PSYCHOLOGY
Psikologi klinis adalah salah satu bidang terapan
psikologi yang memberi jasa melalui upaya mendefinisikan kapasitas perilaku dan
karakteristik perilaku individu melalui metode pengukuran (assessment), analisis, dan observasi.
Abnormalitas dilihat dari sudut pandang biologis berawal
dari pendapat bahwa patologi otak merupakan faktor penyebab tingkah laku
abnormal
Berbagai penyakit neurologis saat ini telah dipahami sebagai terganggunya fungsi otak akibat pengaruh fisik atau kimiawi dan seringkali melibatkan segi psikologis atau tingkah laku.
Berbagai penyakit neurologis saat ini telah dipahami sebagai terganggunya fungsi otak akibat pengaruh fisik atau kimiawi dan seringkali melibatkan segi psikologis atau tingkah laku.
Abnormal adalah ciri-ciri
yang ditetapkan secara subjektif, diberikan pada mereka dengan keadaan difungsi.
Menetapkan siapa yang normal dan tidak normal adalah masalah yang dipertikaikan
dalam psikologi abnormal.
- Gambaran
Umum Abnormalitas
Sebelum kita membahas lebih lanjut
mengenai tingkah laku abnormal dan klasifikasinya, ada baiknya kita telaah
terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan abnormalitas. Hal ini dapat dilihat
dari sudut pandang yang berbeda.
Secara umum, abnormal berarti tidak
normal, menyimpang dari suatu standar yang bisa berarti di atas normal atau di
bawah normal. Abnormal berbeda dengan patologis. Patologis adalah keadaan
sakit, tidak sehat, atau mengalami kerusakan yang biasanya merupakan suatu
tinjauan dari sudut pandang medis. Keadaan abnormal secara statistik tidak
selalu patologis. Misalnya seseorang yang pertumbuhan badannya sangat tinggi
mempunyai tinggi badan yang abnormal, dalam arti menyimpang dari tinggi
rata-rata menurut perhitungan statistik. Akan tetapi tinggi badan tidaklah
patologis karena tidak mengganggu kesehatan, dan tidak merugikan.
1.
Norma Masyarakat
Ketika kita bertanya bagaimana sebuah
masyarakat mendefinisikan abnormalitas, kita harus melihat sejauh mana
masyarakat membuat batasan antara perilaku yang dapat diterima dan perilaku
yang tidak dapat diterima, dan perilaku yang tidak dapat diterima yang
bagaimana yang dipandang masyarakat sebagai bukti dari disorder daripada hanya sekedar suatu perilaku yang tidak
menyenangkan. Pertanyaan-pertanyaan ini dapat dijawab berdasarkan norma yang
dianut suatu masyarakat.
Setiap kelompok masyarakat memiliki
norma atau aturan yang mengatur apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak
boleh dilakukan. Aturan-aturan ini menjelaskan setiap aspek dari keberadaan
kita. Misalnya ada aturan mengenai jarak pribadi, yang berbeda di masing-masing
kebudayaan. Di Amerika Utara, dua orang yang tidak saling mengenal ketika
berbicara, akan berdiri dengan jarak 3 kaki, namun di Amerika Selatan mereka
berdiri lebih dekat dan di Asia jarak mereka lebih jauh. Orang yang berdiri
terlalu dekat dengan kita mungkin akan menjadi ancaman, sebaliknya orang yang
berdiri terlalu jauh dengan kita mungkin terlihat sebagai orang yang dingin.
Bertentangan dengan norma dalam suatu
budaya cenderung dianggap sebagai abnormalitas. Norma menekankan konformitas
sebagai pola perilaku yang ideal, sehingga orang yang tidak konformis dianggap
sebagai abnormal. Karena norma sangat bervariasi, maka kelihatannya norma
merupakan dasar yang lemah untuk pengukuran kesehatan mental seseorang.
- Perhitungan Statistik
Dari sudut pandang satistika, abnormalitas
adalah penyimpangan yang besar dari rata-rata hasil perhitungan statistik.
Mereka yang masuk dalam area “golden mean”
atau yang berperilaku seperti kebanyakan orang lakukan, dianggap normal.
Sebaliknya, mereka yang perilakunya berbeda dari perilaku kebanyakan orang akan
dianggap abnormal.
Pendekatan statistika ini membuat
definisi abnormalitas menjadi hal yang mudah. Kita hanya perlu mengukur
performansi seseorang untuk dibandingkan dengan performansi rata-rata. Jika
hasilnya di luar batas rata-rata, maka dapat dikatakan abnormal. Kelemahan dari
pendekatan ini adalah kurangnya sistem untuk membedakan antara perilaku yang
dapat diterima dan yang tidak dapat diterima.
- Personal
Discomfort
Pendekatan ini lebih liberal, dimana
normalitas dilihat berdasarkan pribadi orang itu sendiri, daripada dilihat
berdasarkan penilaian masyarakat. Jika orang senang dengan kehidupannya dan
menikmatinya maka orang tersebut dianggap normal. Sebaliknya jika mereka merasa
tidak bahagia dengan beberapa aspek dalam hidupnya maka orang itu dianggap
abnormal.
Pendekatan ini memiliki kelemahan
yaitu tidak adanya standar untuk mengevaluasi perilaku itu sendiri.
- Perilaku maladaptif
Kriteria lain untuk mendefinisikan
suatu perilaku sebagai abnormal adalah apakah perilaku tersebut maladaptif atau
apakah orang yang menunjukkan pola perilaku tersebut, dapat memenuhi kebutuhan
hidupnya (seperti bekerja, menghabiskan waktu dengan teman dan keluarga, dll).
Jika tidak, maka perilaku tersebut dianggap abnormal.
- Penyimpangan dari yang ideal
Beberapa teori psikologi menggambarkan
kepribadian yang ideal, sehingga penyimpangan dari gambaran itu akan
diinterpretasikan sebagai abnormal. Gambaran yang ideal ini sulit dicapai. Ada
yang berusaha mencapai kepribadian yang ideal namun yang lain jarang
melakukannya. Karena itu, banyak orang yang menganggap dirinya sendiri abnormal
atau setidaknya membutuhkan perawatan psikologis, walaupun mereka tidak
mempunyai gejala yang jelas.
Pendekatan ini merupakan dasar yang
sangat lemah untuk melihat normalitas seseorang, dikarenakan teori psikologis sangat
relatif untuk waktu dan tempat tertentu dan dapat berubah dengan cepat. Selain
itu, untuk mencapai kepribadian yang ideal tersebut dapat menimbulkan masalah
dan membuat seseorang benar-benar merasa tidak berharga, padahal mereka mungkin
tidak sempurna seperti halnya semua manusia.
Jerome Wakefield (1992) mendefinisikan
mental disorder atau gangguan mental
sebagai berikut: “gangguan muncul ketika mekanisme internal individu gagal melakukan
fungsinya sehingga berdampak pada kesejahteraan individu”.
W.B. Maher and Maher (1985)
menunjukkan adanya empat kategori dasar dari perilaku abnormal, yaitu:
1. Perilaku yang berbahaya bagi diri sendiri atau
yang berbahaya bagi orang lain tanpa memberikan keuntungan pada diri sendiri.
2. Hubungan dengan realita yang lemah, misalnya
percaya pada persepsi sensori terhadap objek yang tidak dialami orang lain.
3. Reaksi emosional yang tidak tepat untuk sebuah
situasi.
4. Perilakunya berubah tanpa dapat diprediksi.
Beberapa penjelasan mengenai abnormalitas menurut
beberapa perspektif psikologis:
1. Perspektif psikodinamik
Perilaku abnormal dihasilkan dari
konflik psikologis yang tidak disadari yang dialami pada masa kanak-kanak.
2. Perspektif behavioral
Perilaku abnormal disebabkan oleh
proses belajar yang tidak tepat, dimana perilaku maladaptif diberi reward dan perilaku adaptif tidak diberi
reward.
3. Perspektif kognitif
Perilaku abnormal merupakan
perkembangan dari cara yang maladaptif dalam memandang dan berpikir mengenai
diri sendiri dan lingkungan.
4. Perspekif
humanistik-eksistensialis
Perilaku abnormal dihasilkan dari
kegagalan menerima diri sendiri, bertanggung jawab atas tindakan sendiri, dan
untuk mencapai tujuan atau cita-cita sendiri.
5. Perspektif interpersonal
Perilaku abnormal merupakan hasil dari
disordered relationship.
6. Perspektif sosiokultural
Perilaku abnormal merupakan hasil dari
tekanan sosial.
Perspektif ini juga memeriksa bias
yang dapat mempengaruhi diagnosa.
7. Perspektif biologis
Perspektif ini menganalisa perilaku
abnormal berdasarkan komponen biologisnya.
Psikopatologi adalah studi mengenai mental illness (penyakit mental) atau mental distress, atau manifestasi dari
perilaku dan pengalaman yang mungkin merupakan indikasi dari mental illness atau gangguan psikologis
seperti abnormal, perilaku maladaptif, atau aktivitas mental.
Psikopatologi dapat juga digunakan
untuk mengartikan perilaku atau pengalaman yang merupakan indikasi dari mental illness, bahkan jika itu tidak
berhubungan dengan diagnosa formal. Misalnya kehadiran halusinasi mungkin
dianggap sebagai tanda psikopatologi, walaupun tidak ada simptom lain yang
hadir untuk memenuhi kriteria dari salah satu gangguan yang didaftar di DSM.
Pada umumnya, perilaku atau pengalaman
yang menimbulkan impairment, distress atau disability, terutama jika itu muncul dari penurunan fungsional baik
dalam sistem kognitif atau neurokognitif di otak, mungkin diklasifikasikan
sebagai psikopatologi.
Sesuai dengan DSM Axis I,
psikopatologi ditandai dengan penyimpangan yang signifikan dalam persepsi mengenai
realitas, kerusakan kapasitas untuk bernalar, berbicara, dan berperilaku secara
rasional dan spontan, kerusakan kapasitas untuk berespon dengan perilaku dan
motivasi yang sesuai. Karakter ini umumnya mengarah pada halusinasi dan delusi.
Halusinasi adalah persepsi yang tidak nyata, sedangkan delusi adalah
kepercayaan yang tidak valid.
- Stress
Pada tahun 1936, Hans
Selye, seorang dokter, memperkenalkan general
adaptation syndrome (GAS), suatu gambaran respon biologis untuk bertahan
dan mengatasi stres fisik. Terdapat tiga fase dalam model ini, yaitu:
1.
Fase
pertama yaitu alarm reaction, sistem
saraf otonom diaktifkan oleh stres.
2.
Fase
kedua yaitu resistance, organisme
beradaptasi dengan stres melalui berbagai coping
mechanism yang dimiliki.
3.
Jika
stresor menetap atau organisme tidak mampu merespon secara efektif, terjadi
fase ketiga yaitu exhaustion, dan
organisme mati atau menderita kerusakan tidak dapat diperbaiki (Selye, 1950).
Beberapa peneliti mengikuti pendapat Selye dan tetap menganggap stres
sebagai respon terhadap berbagai kondisi lingkungan, dan didefinisikan
berdasarkan beragam kriteria seperti gangguan emosi, kemunduran kinerja, atau
berbagai perubahan fisiologis seperti meningkatnya hormon tertentu.
Beberapa peneliti lain melihat stres sebagai suatu stimulus,
yang sering disebut stressor, dan
bukan suatu respon, dan mengidentifikasikannya dengan berbagai kondisi
lingkungan, seperti sengatan listrik, kebosanan, stimulus yang tidak dapat
dikendalikan, berbagai rencana kehidupan, masalah sehari-hari, dan kurang
tidur. Stimulus yang dianggap stresor dapat berupa hal yang besar (kematian
orang yang dicintai), kecil (masalah sehari-hari, misalnya terjebak macet),
akut (gagal dalam ujian), atau kronis (lingkungan kerja yang terus-menerus
tidak menyenangkan). Sebagian besar stimulus tersebut berupa pengalaman yang
tidak menyenangkan bagi orang-orang.
Menyebutkan secara tepat hal-hal yang menciptakan suatu
stresor merupakan hal yang sulit. Misalnya pernikahan yang secara umum
merupakan peristiwa positif, dapat dianggap sebagai stresor karena memerlukan
adaptasi. Terlebih lagi, orang-orang berbeda dalam merespon berbagai tantangan
hidup. Suatu peristiwa tertentu tidak menimbulkan stres dalam tingkat yang sama
pada setiap orang.
a. Coping and Stress
Beberapa orang percaya bahwa tidak mungkin mendefinisikan secara objektif
peristiwa atau situasi apa yang dapat dikategorikan sebagai stresor psikologis
(a.l., Lazarus, 1966). Mereka menekankan aspek kognitif stres, yaitu mereka
meyakini bahwa cara kita menerima atau menilai lingkungan menentukan apakah
terdapat suatu stresor. Jika seseorang beranggapan bahwa tuntutan dalam suatu
situasi melebihi kemampuannya, orang tersebut mengalami stres.
Relevan dengan perbedaan individual dalam merespon situasi penuh stres
merupakan konsep coping, yaitu
bagaimana orang berupaya mengatasi masalah atau menangani emosi yang umumnya
negatif yang ditimbulkannya. Lazarus dan para koleganya mengidentifikasi dua
dimensi coping (Lazarus &
Folkman, 1984).
·
Problem-focused coping mencakup tindakan secara langsung untuk mengatasi masalah
atau mencari informasi yang relevan dengan solusi. Contohnya menyusun jadwal
belajar untuk menyelesaikan berbagai tugas dalam satu semester sehingga
mengurangi tekanan pada akhir semester.
·
Emotion-focused coping merupakan berbagai upaya untuk mengurangi berbagai reaksi
emosional negatif terhadap stres. Misalnya dengan mengalihkan perhatian dari
masalah, melakukan relaksasi, atau mencari rasa nyaman dari orang lain.
Beberapa peneliti juga mengajukan avoidance
coping (Carver & Scheier, 1999). Inti dari avoidance coping yaitu berusaha tidak mengakui bahwa memang ada
masalah yang harus diatasi (mengalihkan diri, mengingkari) atau menolak
melakukan sesuatu untuk mengatasi masalah tersebut (menyerah). Bukti-bukti
menunjukkan bahwa avoidance coping (misalnya
berharap bahwa situasi akan berakhir dengan sendirinya) merupakan metode coping yang paling tidak efektif utuk
menghadapi banyak masalah kehidupan (Roesch & Weiner, 2001).
b.
Dukungan Sosial sebagai Perantara
Hubungan Stres-Penyakit
Terdapat bermacam tipe dukungan sosial. Structural social support adalah
jaringan hubungan sosial dasar yang dimiliki seseorang, misalnya status
perkawinan dan jumlah teman. Functional
social support lebih berkaitan dengan kualitas hubungan yang dimiliki
seseorang, misalnya, apakah orang yang bersangkutan yakin bahwa ia memiliki
teman-teman yang akan membantunya pada saat dibutuhkan (Cohen & Wills,
1985).
Bagaimana cara dukungan sosial menghasilkan efek yang
menguntungkan? Salah satu kemungkinan adalah orang-orang yang memiliki tingkat
dukungan sosial yang lebih tinggi sering menjalankan perilaku sehat yang
positif – mengonsumsi makanan sehat, tidak merokok, dan mengonsumsi alkohol
seperlunya. Kemungkinan lain, dukungan sosial (atau kurangnya dukungan sosial)
dapat memberikan efek langsung pada proses-proses biologis (Uchino, Cacioppo,
& Kiecolt-Glaser, 1996). Contohnya, tingkat dukungan sosial yang rendah
berhubungan dengan peningkatan emosi negatif (Kessler & McLeod, 1985), yang
dapat mempengaruhi tingkat hormon dan sistem kekebalan (Cohen dkk., 1997;
Kiecolt-Glaser dkk., 1984).
Tidak semua penelitian menemukan bahwa
dukungan sosial memberikan efek positif. Stresor sangat berat yang dialami
seseorang dapat membuatnya sangat tertekan sehingga dukungan sama sekali tidak
ada gunanya. Hal ini ditunjukkan dalam suatu studi mengenai dukungan sosial dan
kanker payudara, dimana dukungan sosial tidak mengurangi distress atau gangguan fisik yang lebih ringan (Bolger dkk., 1996).
Studi baru-baru ini juga menunjukkan bahwa terlibat dalam kelompok dukungan
sosial tidak berhubungan dengan mortalitas yang lebih rendah pada kelompok
perempuan yang menderita kanker payudara stadium lanjut (Goodwin dkk., 2001).
c.
Teori Hubungan Stres-Penyakit
Sebelum mengkaji teori yang menjelaskan bagaimana stres
menyebabkan atau memperparah penyakit fisik, perlu dicatat bahwa sebagian besar
penelitian dalam bidang ini berupaya menghubungan stres dengan self-report illness. Masalah dalam
pendekatan ini adalah penuturan diri bisa saja tidak akurat mencerminkan
penyakit.
Efek stres dapat tidak langsung – stres dapat memicu
perubahan kesehatan yang tidak langsung disebabkan oleh variabel biologis atau
psikologis, namun disebabkan oleh perubahan gaya hidup sehat.
Teori Psikologi. Teori Psikologi mencoba mencatat
perkembangan dari berbagai gangguan psikofisiologis dengan mempertimbangkan
faktor-faktor seperti keadaan emosional tidak sadar, ciri kepribadian,
penilaian kognitif, dan tipe spesifik mengatasi stres.
·
Teori Psikoanalisis. Teori psikoanalisis berpendapat bahwa
konflik-konflik tertentu dan kondisi emosional negatif yang terkait dengannya
memicu terjadinya gangguan psikofisiologis. Dari beberapa teoris psikoanalisis
yang mempelajari gangguan psikofisiologis, Franz Alexander memberikan dampak
terbesar. Menurutnya setiap gangguan psikofisiologis merupakan akibat kondisi
emosional tidak sadar yang spesifik bagi gangguan tersebut. Alexander
memformulasikan teori mengenai kemarahan yang tidak diekspresikan, atau anger-in theory, berdasarkan observasinya
terhadap para pasien yang menjalani psikoanalisis. Hipotesisnya terus
diupayakan untuk dibuktikan dalam berbagai studi masa kini mengenai berbagai
faktor psikologis dalam hipertensi esensial.
·
Faktor-faktor Kognitif dan Behavioral. Ancaman fisik jelas dapat menimbulkan
stres. Namun, manusia menerima lebih dari sekedar ancaman fisik. Kita menyesal
tentang apa yang telah terjadi pada masa lalu dan cemas tentang apa yang akan
terjadi pada masa depan. Semua persepsi tersebut dapat merangsang aktivitas
sistem simpatetik dan sekresi hormon-hormon stres. Namun, emosi-emosi negatif,
seperti kekecewaan, penyesalan, dan kekhawatiran, tidak dapat diabaikan dengan
mudah seperti halnya ancaman eksternal, dan juga tidak mudah untuk dihilangkan.
Berbagai emosi negatif tersebut membuat sistem biologis tubuh menjadi tegang
dan tubuh selalu dalam kondisi darurat, kadangkala dalam jangka waktu yang jauh
lebih lama dari yang dapat kita tanggung. Level kognisi tinggi yang terdapat
pada manusia melalui evolusi juga menciptakan potensi pikiran negatif, yang
dapat menimbulkan perubahan fisik yang bertahan lebih lama dari yang
diinginkan. Kapasitas mental kita yang lebih tinggi membuat tubuh kita berada
dalam badai fisik yang tidak dapat ditanggung oleh tubuh.
Dalam diskusi menyeluruh kita tentang
stres, kita melihat bahwa penilaian terhadap stresor potensial merupakan hal
terpenting dalam kaitan bagaimana stres mempengaruhi seseorang. Orang-orang
yang selalu menilai bahwa berbagai pengalaman hidup yang terjadi melebihi kemampuan
mereka dapat mengalami stres secara kronis dan beresiko menderita suatu
gangguan psikofisiologis. Cara orang menghadapi stres juga dapat merupakan hal
yang relevan.
- Pentingnya Pengalaman Masa Dini dan Asuhan Keibuan (Mothering)
Dalam
perkembangan seseorang bisa terjadi gangguan yang sumbernya pada faktor bawaan
atau dari peristiwa yang terjadi selama masa perkembangan. Para pakar psikologi
perkembangan menyatakan bahwa tiap tahap perkembangan memiliki sasaran
tertentu. Bila sasaran tidak tercapai, dapat terjadi gangguan penyesuaian diri
pada tahap tersebut yang terlihat sebagai munculnya tingkah laku abnormal.
Deprivasi
atau ketelantaran dalam hal kasih sayang ibu di masa dini, atau trauma psikis
yang terjadi di masa dini dapat mempengaruhi kepribadian seseorang (emosi,
sikap, predisposisi) yang berakibat jauh ke masa depannya. Eksperimen pada
hewan dan penelitian terhadap anak-anak yang dibesarkan di luar lingkungan
ayah-ibu sendiri telah membuktikan adanya kelainan tingkah laku anak pada masa
dewasanya. Misalnya eksperimen yang dilakukan Hess (dalam Stern, 1964) tentang imprinting, yaitu suatu cara belajar di
masa dini yang tergantung pada adanya pola motorik bawaan (innate motor patterns) dan kematangan yang cukup (adequate maturation) tanpa mengikutsertakan
motivasi. Eksperimen ini dilakukan pada anak itik, ikan, dan serangga di mana
ditunjukkan bahwa jika dalam periode kritis hewan tersebut (pada itik yaitu
ketika ia berumur 13-16 jam) diajarkan untuk melakukan sesuatu, maka hal ini
akan bertahan terus-menerus. Pada anak-anak itik itu, yang diajarkan ialah
respon mengekor (following response)
terhadap itik buatan. Following response
ini bertahan terhadap itik buatan, meskipun anak itik diajarkan untuk merespon
terhadap induk itik yang asli.
Bernstein (dalam Stern 1964) mengadakan
eksperimen pada sekelompok tikus yang diperlakukan secara berbeda. Ada kelompok
tikus yang sering dibelai (extrahandling
group/EH), ada kelompok tikus yang tidak dibelai sama sekali (non-handling/NH) dan ada yang sedang
(IH). Dalam maze learning, ternyata
tikus pada kelompok EH dalam persentase keberhasilannya lebih tinggi dan daya
tahan tikus EH lebih besar daripada kelompok lainnya.
Eksperimen
Harlow (dalam Stern, 1964) dengan anak-anak monyet menunjukkan bahwa monyet-monyet
yang pada waktu bayi tidak mendapat asuhan dari induk monyet asli (diasuh oleh
induk monyet buatan) pada waktu dewasa tidak dapat memperoleh pasangan
heteroseksual. Yang kemudian kawin dan punya anak pun tidak mampu menunjukkan
sikap yang baik terhadap anaknya. Kesulitan dalam mengembangkan hubungan
heteroseksual pada monyet-monyet ini dihubungkan dengan kurangnya anak monyet
mendapat kasih sayang induknya.
Eksperimen
Fisher (dalam Stern, 1964) menggunakan anak-anak anjing yang diberi perlakuan permisif,
ambivalen (kadang-kadang permisif, kadang-kadang dihukum), diisolasi dan
dihukum, diisolasi dan ditolak. Anak-anak anjing ini kemudian diobservasi dan
diukur perilakunya dengan menggunakan kriteria ketergantungan (dependency), aktivitas dan dominasi.
Ternyata kelompok yang mendapat perlakuan permisif adalah kelompok yang paling
aktif, paling dominan, dan tidak dependen.
Temuan
ekperimen ini menyebabkan hipotesis yang dikemukakan Freud dan tokoh
psikoanalisis lainnya, yakni bahwa apa yang terjadi di masa kecil akan berulang
dan bertahan sampai dewasa.
Pengalaman
masa dini dapat memberi kontribusi yang cukup besar terhadap gangguan yang
terjadi, misalnya kekerasan pada anak-anak. Kekerasan terhadap anak-anak sejauh
ini didefinisikan ke dalam istilah yang lebih luas, yakni :
- Neglect, merujuk kepada kegagalan untuk mencukupi
kebutuhan fisik atau emosional anak.
- Psychological abuse, mencakup kekerasan verbal dan
emosional, yang meliputi penolakan.
- Sexual abuse
- Exploitation
Menanggapi mengenai hal ini, muncullah konsepsi yang
menyatakan bahwa anak-anak yang mengalami kekerasan, kelak akan menjadi orang
tua yang melakukan kekerasan pula. Tetapi ada fakta yang menyatakan bahwa hanya
berkisar 1/3 dari anak-anak yang mengalami kekerasan menjadi orang tua yang
melakukan kekerasan.
Faktor-faktor yang menyebabkan orang tua melakukan
tindakan kekerasan terhadap anaknya, yaitu :
- Pengaruh
sosial dan budaya, meliputi kemiskinan, stres, dan toleransi terhadap
kejahatan.
- Karakteristik personal orang tua,
meliputi sejarah terjadinya abuse,
toleransi yang rendah terhadap frustasi, dan sikap agresif.
- Kesulitan dalam interaksi orang
tua-anak, meliputi harapan orang tua yang tidak sesuai atau penjelasan
terhadap perilaku anak yang tidak sesuai, praktek disiplin yang tidak sesuai,
dan anak dengan temperamen yang “sulit”.
Penelitian menyatakan bahwa anak-anak yang mengalami
tindak kekerasan memiliki risiko yang tinggi terhadap masalah perilaku dan
emosional. Anak-anak yang mendapat tindak kekerasan akan mengalami kegagalan dalam
sekolah, sikap agresif, depresi, masalah dengan teman sebaya, dan gangguan
hubungan seksual dan perkawinan. Selanjutnya, anak-anak ini akan mengembangkan insecure attachments, yang melihat
hubungan interpersonal sebagai sesuatu yang dipaksakan, menyakitkan, tidak
dapat diprediksi dan menginterpretasikan perilaku orang lain dengan penuh
kecurigaan dan permusuhan. Sekitar 20% dari korban kekerasan terindikasi
mengalami psikopatologi yang serius pada saat dewasa, meliputi depresi,
ketergantungan obat-obat, disfungsi seksual, gangguan makan, dan gangguan
kepribadian (Finkelhor & Browne, 1988). Dan hanya sekita 1/3 dari korban
kekerasan yang tidak mengalami sindrom psikopatologi (Kendall-Tackett, Williams
& Finkelhor, 1993).
Mothering atau pengasuhan anak oleh ibu di masa kecil serta pengaruhnya dalam
perkembangan emosi anak, telah diselidiki oleh Yarrow dan Ribble. Yarrow pada
tahun 1961 telah menyelidiki 4 macam deviasi dari normal mothering. Mothering
oleh Ribble dimaksudkan sebagai penerimaan 3 jenis stimulus, yaitu taktil,
kinestetik dan pendengaran (auditory)
oleh bayi. Pengasuhan anak atau mothering
yang telah disebut tadi dapat berlangsung dengan cukup baik (adequate), atau kurang baik (inadequate). Adequate mothering akan dapat mengurangi ketegangan pada anak,
sedangkan inadequate mothering dapat
menimbulkan negativisme, kurangnya nafsu makan, bertambahnya ketegangan otot,
dan lain-lain. Menurut Yarrow, ada 4 macam deviasi mothering, yaitu institutional
mothering, mother separation, multiple mothering, dan gangguan dalam
kualitas mothering (dalam Stern,
1964).
Institutional
mothering adalah pola pengasuhan di dalam asrama
atau tempat-tempat penampungan lainnya, misalnya untuk anak yatim atau
anak-anak korban peperangan yang dilakukan oleh pengasuh yang jumlah dan
kualitasnya terbatas. Ditemukan bahwa pada anak-anak itu dapat terjadi hambatan
dalam perkembangan intelektual dan bahasa. Anak-anak dalam keadaan ini sering
menunjukkan apati sosial, sikap acuh tak acuh, atau haus kasih sayang atau
afek. Hal ini dapat menjadi penyebab dari gangguan karakter dan
keterlambatan/retardasi.
Terpisah dari ibu jika berlangsung terutama sebelum
berumur 3 tahun akan menimbulkan protes langsung dan keinginan mencari
pengganti ibu pada tahap permulaan. Pada tahap selanjutnya dapat menimbulkan
apati dan penurunan aktivitas, kemurungan, tidak mau makan (anaclitic depression), bahkan penolakan
terhadap tiap ibu. Anak ini akan ramah terhadap orang lain, tapi tanpa
keterlibatan emosi (without emotional
attachment).
Multiple mothering, yaitu mendapat
asuhan ibu dengan kasih sayang terjadwal (scheduled
affection) dan seorang perawat yang bertanggung jawab atas pelatihan anak
dalam satu tempat penitipan anak. Menurut penelitian Yarrow (dalam Stern,
1964), anak-anak ini akan lambat dalam mengembangkan kemampuan sosial dan
personal, tetapi pada usia 9-11 tahun, anak-anak ini mampu menunjukkan bahwa
keadaan deprivasi dan kurangnya stimulasi pada anak-anak ini dapat dipulihkan.
Gangguan dalam
kualitas mothering disebabkan oleh
gangguan kepribadian pada ibu. Hal ini dapat menimbulkan keadaan neurosis pada anak atau keadaan schizophrenia, dan berhubungan dengan
perkembangan ego si anak tersebut, bila tidak diimbangi dengan lingkungan
sosial yang positif.
Perkembangan ego dapat dilihat dari sisi
organisasi dan diferensiasi. Yang dimaksud dengan ego oleh Cumming ialah sistem
psikologis yang merupakan perantara manusia dengan lingkungan. Ego adalah locus dengan ketrampilan-ketrampilan dan
kecakapan-kecakapan (skills and abilities)
yang pada akhirnya memberikan identitas pada seseorang.
Cumming
mengemukakan pendapatnya tentang bagaimana afek yang mungkin terbentuk pada
seorang anak dan remaja, sebagai hasil interaksi antara ego dengan lingkungan
anak, yang secara analog juga dapat merupakan lingkungan dengan organisasi
jelas atau samar-samar, dan merupakan lingkungan yang kaya atau miskin.
Terlihat dari tabel tersebut bahwa lingkungan yang orgnisasinya jelas akan
lebih positif bagi perkembangan afek anak. Demikian juga apabila struktur ego terorganisasi
dengan baik, afek yang akan terbentuk lebih positif dibandingkan dengan bila
struktur ego teroganisasi kurang baik.
Kejadian-kejadian spesifik dalam masa remaja dalam hal
internalisasi tak adekuat dari respon ketergantungan (inadequate internalization of dependency responses) merupakan
sindrom tingkah laku yang seringkali disamakan dengan delinquency.
- Pola Hubungan Keluarga dan Keluarga Patogenik
Coleman (1984) mengemukakan
bahwa gangguan perkembangan kepribadian mungkin juga disebabkan oleh pola
hubungan antar keluarga yang patogenik,
yakni gangguan interaksi antara ayah-ibu, ayah-anak, anak-anak, atau ibu-anak.
Ada juga menurut Coleman (1984) struktur keluarga yang memang patogenik.
Terdapat 4 pola pengasuhan (parenting style) menurut Baumrind
(1991a, 1991b). Pola
pengasuhan tersebut terbagi ke dalam 2 dimensi utama yaitu warmth/ support dan control/
structure. Empat pola pengasuhan tersebut adalah:
1.
Authoritarian
parent
Dimensi structure sangat tinggi tetapi rendah
pada warmth (kehangatan). Orang tua
seperti ini banyak menuntut dan mengatur. Jika disiplin orang tua adalah dengan
hukuman, menolak kelakuan anaknya, maka anak tersebut akan cenderung menjadi
agresif, tidak kooperatif, takut dengan hukuman, memiliki inisiatif dan harga
diri yang rendah.
2.
Permisive/
indulgent parent
Mempunyai
kehangatan yang tinggi tetapi tidak diikuti dengan structure yang tinggi juga. Orang tua seperti ini tidak menuntut,
hanya menerima, dan sedikit memberikan kontrol terhadap anaknya. Hasilnya
adalah anak tidak mempunyai rasa bertanggung jawab, agresif, menjadi anak yang
manja dan tergantung dengan orang tua.
3.
Authoritative
parent
Mempunyai
tingkat warmth dan structure yang tinggi. Orang tua
memberikan kebebasan kepada anaknya, tetapi mereka ikut terlibat, konsisten, penuh
perhatian, komunikatif, mau mendengarkan anak-anaknya, dan menghormati pendapat
anak-anaknya. Sehingga anak-anak mereka akan menjadi seorang anak yang percaya
diri, mampu menjaga diri sendiri, dan mempunyai rasa ingin tahu yang besar.
4.
Neglectful
parent
Dimensi
warmth dan structure sangat rendah. Konsekuensinya, orang tua seperti ini
terlihat sangat berbeda dan tidak terlibat terhadap anak-anaknya. Hasilnya anak
menjadi pemurung, pembolos, tidak mempunyai tujuan, dan sangat rentan terhadap
rokok dan minuman keras.
Dari
ketiga pola pengasuhan yang kurang diatas (authoritarian,
permisive, dan neglectful parent)
maka dapat menjadikan suatu keluarga sebagai keluarga yang patogenik. Contoh
pola hubungan keluarga yang patogenik misalnya anak ditolak oleh ayah atau
ibunya (rejected). Ini dapat
menimbulkan konsep diri yang rendah pada anak, atau gangguan-gangguan seperti
agresivitas, mengompol, dan lain-lain. Bagaimana hubungan ini mempengaruhi
tingkah laku anak tergantung pada predisposisi anak tersebut. Contoh-contoh
pola hubungan keluarga patogenik adalah anak yang terlalu dilindungi atau
dibatasi aktifitasnya, pemanjaan, dan pemenuhan kebutuhan secara berlebihan,
tuntutan terhadap anak yang tidak realistik atau terlalu berat, disiplin yang
salah penerapannya, kegagalan berkomunikasi, persaingan antarsaudara, orang tua
yang kurang baik sebagai model (misalnya ibu schizophrenia, ayah pemabuk, dan lain-lain). Dari contoh-contoh
diatas, dapat kita lihat bahwa, oleh karena adanya pola asuh yang salah dari
orang tua maka baru muncul adanya keluarga yang patogenik.
Struktur keluarga patogenik adalah keluarga yang sebagai
suatu keseluruhan tidak menunjang keadaan anak, bahkan dapat merusak
perkembangan anak. Keadaan abnormal yang disebabkan oleh keluarga yang patogenik
dinamakan family pathogeny.
Coleman memberikan 4 contoh dari apa yang disebutnya
sebagai keluarga patogenik:
1. Keluarga
yang tidak adekuat
Yakni
keluarga yang tidak mampu menyelesaikan masalah-masalah keluarga sehari-hari
dan terus menerus memerlukan bantuan dari luar. Masalah ini dapat berupa
masalah keuangan, pemecahan masalah biasa, dan lain-lain, sebabnya mungkin
terletak pada kepribadian orang tua yang kurang matang, kurang pendidikan, atau
kekurangan lain pada orang tua.
2. Keluarga
terganggu
Ialah
keluarga yang membuat suasana di rumah dalam ketegangan emosional yang terus
menerus, misalnya karena orang tua yang terus menerus bertengkar dan menjadikan
anak mengalami ketegangan dan kecemasan di rumah.
3. Keluarga
antisosial
Ialah keluarga ysng menunjukkan sikap antisosial. Ini
terjadi bila keluarga tersebut menganut nilai yang tidak disetujui oleh
masyarakat sekitarnya. Misalnya keluarga yang salah satu orang tuanya adalah
penjahat, penjudi, terlibat utang, dan lain-lain.
4. Keluarga
terpecah
Yakni
keluarga dimana ayah dan ibu berpisah karena perceraian, kematian, dan
lain-lain sehingga keadaan ini dapat mengganggu perkembangan anak.
E.
Klasifikasi
Tingkah Laku Abnormal
Klasifikasi
merupakan pemberian suatu nama (label) atau diagnosis nosologis (penentuan
penyakit) bagi suatu pola tingkah laku abnormal yang disepakati bersama secara
profesional.
Hendersaon
dan Gillespie (1956) menggunakan beberapa jenis klasifikasi gangguan jiwa
berikut:
1.
Klasifikasi
Psikologis
Dikemukakan
oleh Linnaeus, Arnold, Pritchard, Heinroth, Bucknill & Tuke, Ziehan.
·
Linnaeus membedakan
antara gangguan-gangguan dalam ide, imajinasi dan emosi (pathetic)
·
Arnold membedakan
antara gangguan ‘ideal’ dan ‘notional’ atau dalam fungsi persepsi dan
imajinasi
·
Pritchard membedakan
antara ‘moral insanity’ dan ‘intelectual insanity’
·
Heinroth membedakan
antara gangguan dalam pengertian, kehendak, dan gangguan campuran
·
Bucknill & Tuke
membedakan antara gangguan intelek dan gangguan afektif (emosi) yang
selanjutnya dibagi menjadi gangguan afektif moral dan afektif animal
·
Ziehen membedakan
antara gangguan tanpa efek atau kerusakan intelektual dan gangguan dengan efek
intelektual baik dari lahir maupun yang diperoleh kemudian.
2.
Klasifikasi
Fisiologis
Didasarkan pada asumsi bahwa
proses-proses mental memiliki dasar faal/ fisiologis. Kesulitannya adalah belum jelasnya proses dan lokasi
fisiologi dari proses-proses mental normal. Tuke,
Maynart, Wernicke mengemukakan system klasifikasi sebagai berikut:
·
Tuke mengadakan
pembagian gangguan atas gangguan fungsi sensorik ( misalnya halusinasi), fungsi
motorik (misalnya kelumpuhan) dan ide (misalnya demensia).
·
Maynart membagi
kelainan tingkah laku menurut 3 penyebab faal yaitu perubahan anatomis ,
gangguan gizi, intoksinasi atau keracunan.
·
Wernicke membuat suatu
asumsi psikofisiologis antara lain bahwa
tiap isi kesadaran tergantung pada seperangkat elemen syaraf tertentu. Gangguan
ini berturut-turut diberi nama sebagai berikut; di bidang psikosensori ada
gangguan-gangguan anesthesia (tidak
ada rasa), hyperaestesia (rasa
berlebihan) dan parasthesia (rasa
yang tidak tepat). Di bidang intrapsikis ada gangguan afunction (tidak berfungsi), hyperfunction
(salah fungsi) dan parafunction
(salah fungsi); di bidang psikomotor ada gangguan-gangguan akinesis (tidak ada gerakan), hyperkinesis
(gerakan berlebihan) dan parakinesis
(gerakan salah)
3.
Klaisifikasi
Etiologis
Didasarkan
atas sebab-sebab apa yang menyebabkan gangguan jiwa. Menurut Skae, dalam setiap
gangguan fisik, ada suatu gambaran mengenai gangguan jiwa yang berhubungan dengannya.
Hereditary dan toxic insanity adalah penyakit jiwa (insanity) yang disebabkan oleh herediter dan keracunan.
Klasifikasi
dari Inggris mengusulkan pengelompokan gangguan jiwa berdasarkan nama
gangguan/penyakitnya dan dimensi berdasarkan penyebabnya.
4.
Klasifikasi
Simtomatologis
Metode
klasifikasi ini yaitu mencari gejala-gejala dan menyimpulkan jenis gangguan
berdasarkan gejala-gejala tersebut.
Kraeplin
mengemukakan 3 kategori fungsi psikis, yaitu: Stimnung (S) atau emosi, Denken
(D) atau pikiran dan Handlung (H)
atau tindakan. Dalam keadaan normal, konsistensi antara S-D-H; makin
teritegrasinya S-D-H, 934, makin baik kondisi kejiwaan seseorang.
Bleuler
memberi kritik terhadap Kraeplin oleh karena S-D-H ini terlalu dipaksakan untuk
menerangkan suatu gejala penyakit secara terarah. Menurutnya, diagnosis
(penentuan nama penyakit) bukanlah yang terpenting, tetapi mengenali gangguan
yang diderita pasien dan memahaminya
adalah yang terpenting.
A
Meyer mengusulkan untuk mencari fakta-fakta dan tidak mengkotak-kotakkan pasien
tetapi berusaha mendapatkan gambaran mengapa seseorang dapat menjadi seperti
apa sekarang melalui etiologi (penyebab)
Di
Indonesia, hingga tahun 1968, masih digunakan DSM II yang sudah diadapatasi
dimana kategori utama gangguan jiwa yaitu:
·
Retardasi mental
·
Sindroma otak
·
Psikosis yang berkaitan
dengan kondisi fisik
·
Neurosis
Gangguan kepribadian + gangguan nonpsikotik
Gangguan kepribadian + gangguan nonpsikotik
·
Gangguan
psikofisiologis
·
Gejala-gejala khusus
·
Gangguan situasional
sementara
·
Gangguan tingkah laku
anak dan remaja
·
Tidak ada kelainan
psikiatrik tetapi bermasalah dan butuh dibantu
·
Tak tergolongkan
5.
Klasifikasi
Modern/ Mutakhir
Telah
digunakannya DSM III dan DSM IV yang
dibuat oleh APA. Berbeda dengan DSM I ataupun DSM II, pada DSM III dan DSM IV
dasar klasifkasi gangguan jiwa diperluas.
Semula, DSM hany memperhatikan satu dimensi yaitu dimensi simtom klinis yang dinyatakan dalam
Axis I. Kini, DSM yang telah memasuki versi IV revised memperhatikan lima dimensi. Lima dimensi itu adalah Axis I
simtom klinis, Axis II gangguan kepribadian, Axis III dasar-dasar organic, Axis
IV keparahan stressor dan Axis V penyesuaian diri.
- Diagnosis Tingkah
Laku Abnormal
Diagnosis merupakan aspek penting dalam bidang psikologi
abnormal. Diagnosis penting bagi para profesional untuk berkomunikasi satu sama
lain secara akurat mengenai berbagai jenis kasus yang ditangani atau diteliti. Sistem
diagnostik American Psychiatric
Association (DSM-IV-TR) menggunakan sistem multiaksial yang dapat
memudahkan para profesional dalam merencanakan treatment serta meramalkan hasilnya karena setiap individu diukur
berdasarkan lima dimensi yang berbeda.
Sistem multiaksial
menyediakan suatu format untuk mengkomunikasikan informasi yang bersifat
klinis, untuk mengetahui kompleksitas situasi klinis dan untuk menggambarkan
perilaku yang heterogenitas dari individu yang memiliki diagnosis sama.
Terdapat lima aksis
yang tercakup dalam klasifikasi multiaksial DSM-IV, yaitu:
1.
Aksis I. Semua kategori diagnostik
gangguan klinis yang menjadi fokus perhatian bidang klinis.
Aksis 1 meliputi berbagai macam
gangguan atau kondisi kecuali gangguan kepribadian dan retardasi mental.
Aksis I
Gangguan Klinis
Gangguan yang pertama kali biasanya didiagnosis pada masa bayi,
kanak-kanak, atau remaja.
Delirium, Demensia, Amnestik Dan Gangguan Kognitif Lainnya.
Skizofrenia Dan Gangguan Psikotik Lainnya.
Gangguan Mood.
Gangguan Anxietas.
Gangguan Somatoform.
Gangguan Factitious.
Gangguan Disasosiatif.
Gangguan Seksual Dan Identitas Gender.
Gangguan Makan.
Gangguan Tidur.
Gangguan Control Impuls Yang Tidak Diklasifikasikan Dimanapun.
Gangguan Penyesuaian Diri.
Gangguan Lain Yang Menjadi Fokus Perhatian Klinis.
2. Aksis II. Gangguan
kepribadian dan retardasi mental.
Aksis II
dapat digunakan untuk mencatat fitur kepribadian maladaptif yang tampak dan defense mechanism.
Aksis II
Gangguan kepribadian
Retardasi Mental
Gangguan Kepribadian Paranoid. Gangguan
Kepribadian Narsistik.
Gangguan Kepribadian Skizoid.
Gangguan Kepribadian Avoidant.
Gangguan Kepribadian Skizotipal. Gangguan
Kepribadian Dependen.
Gangguan Kepribadian Antisocial. Gangguan
Kepribadian Obsesif Kompulsif
Gangguan Kepribadian Borderline. Gangguan Kepribadian
Gangguan Kepribadian Histonik. Retardasi
Mental.
3. Aksis III. Kondisi
medis umum.
Aksis III
adalah aksis tentang kondisi medis umum yang relevan secara potensial
melaporkan gangguan mental individu. Sebagai contoh, depresi yang disebabkan
oleh disfungsi kelenjar endokrin akan didiagnosis dalam bagian depresi DSM
Namun dicatat sebagai gangguan yang disebabkan oleh masalah medis.
Aksis III
Kondisi Medis Umum
Penyakit Parasistik Dan Infeksi.
Neoplasma.
Penyakit Endokrin, Nutrisi, Dan Metabolisme Serta
Gangguan Imunitas.
Penyakit Darah Dan Organ Pembentuk Darah.
Penyakit Nervous
System Dan Organ Indera.
Penyakit Sistem Sirkulasi.
Penyakit Sistem Respirasi.
Penyakit Sistem Pencernaan.
Penyakit Sistem Genitourinary.
Komplikasi Kehamilan, Kelahiran, Dan Puerperium.
Penyakit Kulit Dan Jaringan Subsutaneous.
Penyakit Sistem Muskuloskeletal Dan Jaringan
Penghubung.
Congenital
Anomalies.
Kondisi Tertentu Yang Berasal Dari Periode
Perinatal.
Simtom, Tanda Dan III-Defined Conditions.
Luka Dan Keracunan.
4. Aksis IV. Masalah
psikososial dan lingkungan.
Aksis IV
adalah untuk melaporkan masalah psikososial dan lingkungan yang dapat
mempengaruhi diagnosis, treatment,
dan prognosis gangguan mental (aksis I dan II). Masalah psikososial dan
lingkungan misalnya berupa kejadian hidup yang negatif, defisiensi lingkungan,
stres interpersonal, dukungan sosial yang inadekuat, dan sebagainya.
Aksis IV
Masalah Psikososial dan Lingkungan
Masalah Dengan Kelompok Pendukung Primer.
Masalah Yang Berkaitan Dengan Lingkungan Sosial.
Masalah Pendidikan.
Masalah Pekerjaan.
Masalah Rumah Tangga.
Masalah Ekonomi.
Masalah Dengan Akses Untuk Mendapatkan Pelayanan
Perawatan Kesehatan.
Masalah Yang Berhubungan Dengan Sistem Hukum.
Masalah Psikososial Dan Lingkungan Lainnya.
5. Aksis V.
Keberfungsian penilaian global.
Aksis V
adalah untuk melaporkan penilaian seorang profesional mengenai keseluruhan level
keberfungsian individu. Informasi ini berguna untuk merencanakam treatment dan mengukur dampaknya, serta
meramalkan hasilnya
Keseluruhan
fungsi pada aksis V dilaporkan dengan menggunakan skala GAF ( Global Assessment
of Functioning ). Skala GAF mengukur tentang fungsi psikologis, sosial, dan
pekerjaan.
Reliabilitas
merupakan landasan suatu diagnostik karena reliabilitas merupakan kriteria
utama untuk menilai setiap sistem klasifikasi. Validitas kategori diagnostik
merupakan validitas konstruk yang ditentukan dengan mengevaluasi sejauh mana
pernyataan dan prediksi akurat yang dapat dibuat terhadap suatu kategori yang
telah tersusun karena validitas konstruk adalah kesatuan pernyataan-pernyataan
bukan sesuatu hal yang sudah terbukti.
Ciri
khas DSM saat ini adalah pengaturan sistem multiaksial. Setiap kali suatu
diagnosis ditegakkan, ahli kinis harus menjelaskan kondisi pasien berdasarkan
setiap aksis yang ada. Suatu diagnosis multiaksial diyakini memberikan gambaran
tentang gangguan mental yang lebih multidimensional dan bermanfaat. Tetapi
beberapa kritik terhadap DSM tidak menyetujui klasifikasi secara umum. Mereka
beranggapan bahwa mengklasifikasikan seseorang menyebabkan hilangnya informasi
mengenai orang tersebut. Klasifikasi juga dapat menyebabkan stigmatisasi dan
efek negatif bagi individu yang didiagnosis.
DAFTAR PUSTAKA
Alloy, Lauren B., dkk. 1996. Abnormal Psychology Current Perspectives,
Seventh Edition. New York: McGraw-Hill, Inc.
Davidson, Gerald C., John M. Neale, & Ann M.
Kring. (2004). Abnormal Psychology (9th edition). US: John Wiley & Sons,
Inc.
Markam, Suprapti. 2005. Psikologi Klinis. Jakarta: UI Press.
Nietzel, Michael T.,
Bernstein, Douglas A., dkk. Introduction to Clinical Psychology. 5th Edition. Canada:
Prentice-Hall, Inc.
Wenar,
Charles & Kerig. 2006. Developmental
Psychopathology. 5th ed. Mc Graw Hill.
Sands Casino Resort in Palm Beach FL | Sec-Casino
ReplyDeletePapel · Casino Rewards · Rewards · Live Casino 샌즈카지노 · Live Casino · 메리트 카지노 Bingo 1xbet