OPERANT CONDITIONING : LEARNING FROM THE CONSEQUENCES OF
YOUR BEHAVIOR
Meskipun classical conditioning membantu kita untuk menjelaskan banyak hal
tentang pembelajaran, namun ternyata masih jauh untuk mencakup keseluruhan
pemahaman tentang cara kita belajar. Classical
conditioning menjelaskan tentang respon organisme terhadap lingkungan,
sebuah pandangan yang gagal menangkap sifat aktif organisme dan pengaruhnya
terhadap lingkungan. Classical conditioning
menonjol dalam menjelaskan bagaimana rangsangan netral dihubungkan dengan
respon yang tidak dipelajari atau tidak sengaja (involuntary responses), namun tidak efektif menjelaskan perilaku
disengaja (voluntary behaviors).
Bentuk lain dari pembelajaran adalah operant conditioning, yaitu bentuk pembelajaran dimana konsekuensi dari perilaku
mengarahkan pada kemungkinan terjadinya perubahan.
Prinsipnya perilaku akan semakin sering atau semakin jarang muncul tergantung
pada konsekuensi yang mengikutinya.
Operant Conditioning
pertama kali dijelaskan di Amerika oleh Edward Thorndike pada tahun 1911,
Thorndike tertarik pada pertanyaan tentang inteligensi hewan, yang ia selidiki
menggunakan alat yang disebut “puzzle box”. Seekor kucing yang lapar ditempatkan didalam kotak dengan
pintu tertutup yang
telah didesain dengan sebuah pedal tersembunyi, dimana jika pedal tersebut
tertekan pintu kandang akan terbuka. Sementara itu makanan
diletakkan diluar, dan kucing tersebut terlihat berusaha untuk melarikan diri.
Dengan beberapa percobaan, kucing dapat membuka pintu dari kotak tersebut. Dari hasil penelitian, Thorndike merumuskan sebuah teori “Law of Effect”, yang menyatakan
bahwa konsekuensi dari
respon menentukan apakah respon akan dilakukan lagi di masa depan. Perilaku, menurut Thorndike, diatur
oleh konsekuensi yang mengikutinya.
Prinsip umum ini kemudian dikembangkan oleh
Burhuss Frederic Skinner (1904-1990). Skinner menyebut pendekatan ini sebagai
“behaviorisme radikal” untuk membedakannya dengan behaviorisme yang dianut John
Watson, yang menekankan pada classical
conditioning. Skinner mengatakan bahwa untuk memahami perilaku, kita
sebaiknya memusatkan pada penyebab eksternal dari perilaku dan konsekuensi yang
mengikuti perilaku tersebut. Konsekuensi tersebut dapat dijelaskan dengan 3 hal yaitu :
1)
Penguatan positif
2)
Penguatan negatif
3)
Hukuman
A. Penguatan Positif
Penguatan
(reinforcement) adalah proses
dimana sebuah stimulus memperkuat kemungkinan munculnya respon yang mengikutinya. Reinforcement dapat dikatakan serupa dengan
penghargaan. Namun tetap ada beberapa penganut aliran behaviorism yang
menghindari penggunaan kata penghargaan karena kata ini menekankan pada sesuatu
yang diperoleh sebagai hasil kerja keras dan sifatnya menghasilkan perasaan
bahagia ataupun rasa puas. Untuk para ahli behavioriseme, sebuah stimulus
adalah sebuah reinforcement ketika
stimulus ini memperkuat perilaku yang sebelumnya, baik itu menyenangkan ataupun
tidak menyenangkan bagi yang bersangkutan.
Penguatan positif
merupakan sebuah proses memperkuat perilaku dimana respon perilaku diikuti
dengan penyajian intensitas stimulus yang memperkuat perilaku. Dalam hal ini
sebuah konsekuensi yang
menyenangkan akan ditingkatkan yang membuat sebuah respon perilaku lebih
mungkin muncul kembali. Misal, ketika kita mendapat nilai yang baik setelah
belajar dengan keras, usaha anda untuk belajar kemungkinan akan terus
dipertahankan atau ditingkatkan.
Dua hal penting yang
perlu diperhatikan dalam menggunakan reinforcement positif :
1.
Timing
Penguatan positif harus diberikan dalam waktu
yang singkat mengikuti responnya. Delay of reinforcement merupakan bagian dari
waktu antara penguat positif dan respon yang akan mengurangi efisiensi dari
operant conditioning.
2.
Konsistensi pemberian reinforcement
Pemberian penguatan harus
konsisten dilakukan, diberikan setelah setiap terjadinya respon.
Penguatan
positif bukan terjadi hanya ketika sengaja diatur. Konsekuensi yang alamiah dari
perilaku juga bisa menjadi penguat yang baik. Kita akan selalu dipengaruhi oleh
konsekuensi dari perilaku kita, dan juga selalu belajar untuk menyesuaikan diri
dengan kehidupan kita melalui operant conditioning.
PRIMARY AND SECONDARY REINFORCEMENT
Penguatan positif dapat diklasifikasikan sebagai
penguatan primer atau sekunder berdasarkan apakah sebuah perilaku terjadi
secara alamiah (tidak dipelajari) atau dipelajari.
Penguatan
Primer merupakan penguat positif bawaan yang tidak dapat didapatkan melalui
belajar. Dengan kata lain penguatan primer merupakan stimulus
yang secara alami memperkuat suatu perilaku, biasanya karena dapat memenuhi
kebutuhan fisiologis, contohnya makanan, minuman, dan kepuasan seksual.
Penguatan
sekunder
memiliki nilai positif melalui pengalaman, merupakan penguat yang dipelajari atau
dikondisikan (conditioned reinforcers).
Misal, mendapatkan tepukan di punggung, pujian, atau kontak mata. Sebagai
contoh, seorang mahasiswa akan mendapatkan uang sebesar sepuluh dolar untuk
satu nilai A dalam KHS nya, maka uang tersebut akan menjadi penguat sekunder.
Hal ini tidak terjadi secara alamiah dan meningkatkan kemungkinan mahasiswa
tersebut untuk berusaha mendapatkan nilai A sebanyak mungkin.
Ketika sebuah objek dapat ditukar dengan objek
penguat lainnya, maka objek tersebut memiliki nilai penguat di dalam dirinya
sendiri, yang biasa disebut sebagai tanda
penguat (token reinforcement).
JADWAL DALAM PENGUATAN POSITIF
Kebanyakan contoh penguatan yang telah kita
paparkan sejauh ini meliputi penguatan berkesinambungan (continuous reinforcement), dimana sebuah perilaku dikuatkan setiap
kali perilaku itu muncul . ketika penguatan berkesinambungan ini muncul,
organisme akan belajar dengan cepat. Namun ketika penguatan dihentikan, maka
pelenyapan juga akan terjadi cukup cepat.
Penguatan sebagian (partial reinforcement) mengikuti sebuah perilaku hanya sebagian
waktu (Shull dan Grimes, 2006). Misal, seorang pemain golf tidak memenangkan
setiap pertandingan yang ia ikuti.
Selain penguatan terus menerus (continuous reinforcement), terdapat
empat jenis jadwal penguatan dengan efeknya masing-masing pada perilaku
(Ferster & Skinner, 1957) :
1. Fixed ratio. Jadwal penguatan dimana penguat
diberikan
hanya setelah sejumlah respon dimunculkan. Hal ini sering digunakan dalam dunia
bisnis untuk
meningkatkan produksi. Misal perusahaan X memberikan bonus pada karyawan yang
berhasil memproduksi 50 boneka.
2. Variable ratio. Jadwal penguatan dimana penguat diberikan setelah sejumlah respon
dalam jumlah yang berbeda
muncul, namun kapan penguatan diberikan tidak dapat diprediksi. Mesin slot pada
kasino menguatkan perilaku penjudi untuk terus bermain merupakan salah satu
contoh Variable ratio schedule. Misal,
slot machine pada kasino akan mengeluarkan uang rata-rata setiap memasukkan
koin ke-20 kalinya, namun si penjudi tidak tahu kapan persisnya pembayaran ini
akan muncul. Mesin tersebut mungkin akan mengeluarkan uang pada urutan ke-2
atau hingga 58 koin dimasukkan. Variable
ratio schedule menghasilkan perilaku yang lebih stabil dan lebih permanen
jika dibandingkan dengan ketiga penguatan lainnya.
3. Fixed interval. Jadwal penguatan di mana penguat diberikan setelah
respon pertama muncul setelah jangka waktu tertentu yang telah ditentukan (fixed). Misal, perilaku kampanye pada
politisi akan meningkat saat waktu untuk pemilihan dimulai. Setelah mereka
dipilih, mereka akan mengurangi kampanye mereka dan kemudian tidak melakukannya
lagi secara besar-besaran sampai tiba waktunya pemilihan kembali (biasanya
setelah 2-4 tahun kemudian).
Pada fixed interval schedule hanya
sedikit perilaku yang terjadi hingga tiba waktunya perilaku tersebut akan
dikuatkan (misalnya saat mendekati masa pemilihan kembali) dan saat itu jumlah
perilaku kampanye akan meningkat dengan tajam.
4. Variable interval. Jadwal penguatan dimana respon diberi penguatan
setelah sejumlah waktu tertentu yang bervariasi telah berlalu. Waktu
antara penguat beragam di sekitar beberapa rata-rata dan tidak bersifat tetap. Misal, mesin judi akan mengeluarkan
uang setelah 10 menit, kemudian setelah 2 menit, setelah 18 menit dan
seterusnya. Penjudi akan terdorong untuk memasukkan koin secara lebih teratur
karena mereka
tidak pernah tahu kapan mesin
judi akan mengeluarkan uang berikutnya.
SHAPING
Dalam
banyak situasi, respon yang ingin kita perkuat tidak pernah muncul. Dalam hal
ini, solusinya dengan melakukan sebuah prosedur yang disebut sebagai
shaping. Dalam mekanisme shaping,
penguatan diberikan pada setiap kecenderungan munculnya respon yang diharapkan dan kemudian
secara bertahap respon-respon yang lebih mendekati tujuan akhir atau respon
yang diharapakan dipancing untuk muncul. Respon-respon yang diperkuat hingga
terbentuknya respon yang diharapkan disebut sebagai successive approximation.
Dalam kasus Harry dan kelereng, hamster tersebut akan
diberikan butiran makanan bila sekedar berbalik kearah kelereng tersebut. Ketika
respon ini muncul dengan stabil, hamster akan diberi makanan setiap kali melangkah
kearah kelereng. Kemudian hamster diberi makanan setiap kali mendekati kelereng
dan menyentuh kelereng. Lalu kemudian makanan diberikan setiap kali hamster
meletakkan kaki-kakinya diatas kelereng, dan pada akhirnya makanan diberikan
setiap kali hamster memegang kelereng tersebut. Dengan pencapaian setiap usaha
yang semakin dekat, hamster ini akan semakin mungkin menampilkan perilaku
berikutnya, yang kemudian akan dapat diperkuat kemunculannya.
Dengan menggunakan shaping
dan teknik-teknik lainnya, Skinner dapat melatih burung dara untuk bermain
pin-pong dengan paruhnya dan untuk bermain miniature “bowling” lengkap dengan
bola dari kayu dan pin-pin kecil. Para pelatih hewan biasanya menggunakan
metode shaping secara berkala untuk
melatih hewan-hewan untuk melakukan berbagai hal yang ingin dibentuk.
B. Penguatan Negatif
Negative reinforcement adalah stimulus
tidak menyenangkan yang penghilangan terhadap stimulus tersebut mendorong
peningkatan kemungkinan bahwa respon terdahulu akan terulang kembali. Misalnya seorang
ibu yang memarahi anaknya setiap pagi karena tidak membersihkan tempat tidur,
tetapi suatu pagi si anak tersebut membersihkan tempat tidurnya tanpa di suruh
dan si ibu tidak memarahinya, pada akhirnya si anak akan semakin rajin
membersihkan tempat tidurnya diringi dengan berkurangnya frekuensi sikap
kemarahan dari ibunya.
Ada
2 tipe dalam Negative Reinforcement :
1) Escape
conditioning merupakan penguatan perilaku karena adanya suatu kejadian
menghasilkan efek negatif. Beberapa
stimulus atau kejadian yang bilamana dihentikan atau dihilangkan akan meningkatkan atau memelihara kekuatan respon.
Escape Conditioning adalah bentuk penguatan negatif karena sesuatu yang negatif
dihilangkan.
2) Penghindaran
(Avoidance conditioning) yaitu respon
untuk mencegah sesuatu yang tidak menyenangkan atau melakukan pencegahan.
C. Punishment
Hukuman
(punishment) adalah sebuah konsekuensi untuk mengurangi atau menghilangkan
kemungkian sebuah perilaku akan muncul. Misalnya seorang anak bermain-main
pedang-pedangan menggunakan pisau, kemudian kulit jari tanganya terpotong
ketika pisau tersebut salah diarahkan. Pada akhirnya anak tersebut akan sedikit
demi sedikit mengurangi bermain-main menggunakan pisau.
Penguatan negatif (negative
reinforcement) tidaklah sama dengan hukuman, keduanya sangat berbeda. Penguatan
negatif lebih bertujuan untuk meningkatkan probabilitas dari sebuah perilaku,
sedangkan hukuman lebih bertujuan untuk menurunkan probabilitas terjadinya
perilaku.
BAHAYA
HUKUMAN ; ADA LIMA BAHAYA YANG MELEKAT
DALAM HUKUMAN:
a) Jika seseorang terbiasa menggunakan
hukuman yang berat seperti membentak dengan suara keras, maka seseorang
tersebut menjadi contoh orang yang pemarah dan galak saat menghadapi situasi
yang menekan.
b) Hukuman bisa menimbulkan rasa takut,
kemarahan, dan penghindaran. Hukuman pada dasarnya mengajarkan seseorang untuk
menghindari sesuatu. Sebagai contoh, pada umumnya murid tidak akan menyukai
guru yang suka menghukum bahkan kemungkinan mereka tidak mau bersekolah lagi.
c) Seseorang akan mengalami kecemasan dan marah saat mendapat hukuman sehingga tidak akan
berkonsentrasi terhadap tugas mereka selama beberapa waktu.
d) Hukuman lebih mengajarkan tentang
hal-hal yang tidak boleh dilakukan dibandingkan dengan hal-hal yang seharusnya
dilakukan. Ketika kita menyatakan “jangan” terhadap orang lain, maka seharusnya
kita juga memberi saran tindakan berupa hal yang harus dilakukannya, misalnya
“sebaiknya lakukan..”
e)Terkadang hukuman yang dimaksud untuk
mengurangi perilaku buruk dapat berubah menjadi penguat perilaku buruk
tersebut. Seseorang berpikir saat
mendapat hukuman dia merasa dirinya lebih diperhatikan atau bahkan
membuatnya menjadi lebih disegani oleh orang-orang disekitarnya.
PEDOMAN DALAM MENGGUNAKAN HUKUMAN
1. Dalam memberi hukuman sangat dianjurkan
untuk menghindari hukuman yang menggunakan kekerasan fisik.
2. Hukuman tidak harus berakhir pada
hukuman itu sendiri tanpa memberi saran apa yang harus dilakukan.
3. Hukuman
lebih ditujukan terhadap perilaku perbuatan yang salah, tetapi bukan menghukum
individu yang melakukan kesalahan tersebut. Dengan kata lain, lebih baik
mengubah perilaku buruk tersebut.
4. Jangan
memberikan hukuman dan pujian pada prilaku yang sama.
5. Konsisten
dengan hukuman, artinya ketika memulai hukuman, kita tidak boleh
langsung menghentikannya. Jangan memberi
penguatan terhadap perilaku-perilaku yang tidak baik dan tidak cocok.
D. Contrasting Classical And Operant
Conditioning
Classical dan operant conditioning berbeda satu sama
lain dalam tiga cara utama :
1.
Pengkondisian
klasik melibatkan hubungan antara dua stimuli. Sebaliknya, pengkondisian operan
melibatkan hubungan antara respon dan konsekuensi yang dihasilkan.
2. Pengkondisian
klasik biasanya melibatkan refleksif, perilaku tidak sengaja yang dikendalikan
oleh sumsum tulang belakang atau sistem saraf otonom. Termasuk respon
ketakutan, air liur, dan perilaku tidak sengaja lainnya. Pengkondisian operan,
biasanya melibatkan perilaku sengaja yang lebih rumit, yang diperantarai oleh
sistem saraf somatik.
3. Perbedaan yang paling penting
menyangkut cara stimulus membuat pengkondisian "terjadi"
(seperti unconditioned stimulus dalam pengkondisian klasik atau penguatan stimulus
pada pengkondisian operan). Dalam pengkondisian klasik, UCS dipasangkan CS dimana
perilaku yang muncul bersifat independent. Individu tidak perlu melakukan apa
pun untuk CS atau UCS yang akan disajikan. Dalam penkondisian operan,
konsekuensi penguatan terjadi hanya jika respon yang diharapkan muncul.
Konsekuensi penguatan bergantung pada respon yang muncul.
E. Stimulus
Discrimination And Generalization
STIMULUS
DISCRIMINATION
Stimulus discrimination adalah proses yang terjadi
jika 2 stimulus cukup berbeda satu sama lainnya dimana 1 stimulus membangkitkan
suatu respons terkondisi namun stimulus yang lain tidak (kemampuan untuk
membedakan 2 stimulus atau lebih). Disini kita membedakan respon yang akan kita
berikan berdasarkan stimulus yang kita terima. Seperti contoh ketika dosen
datang ke ruang kelas,mahasiswa akan cenderus diam dan tenang. Ketika teman sesama mahasiswa
datang, maka mahasiswa akan tetap ribut dan tidak tenang.
STIMULUS GENERALIZATION
Stimulus generalization adalah proses dimana,
setelah suatu stimulus dikondisikan untuk menghasilkan suatu respons tertentu,
stimulus yang mirip dengan stimulus asli menghasilkan respons yang sama
(rangsangan baru mirip dengan rangsangan yang dikondisikan). Disini respon yang
kita berikan tidak memperdulikan stimulus apa yang di terima. Seperti contoh pada masyarakat yang
kurang mampu tidak peduli apakah penghasilan mereka halal atau haram,yang
penting mereka bisa makan dan mencukupi kehidupan mereka.
EXTINCTION
Extinction
terjadi ketika stimulus terkondisi disajikan beberapa kali tanpa stimulus
berkondisi. Sebagai contoh, jika kita membunyikan lonceng dan menyebabkan
anjing untuk mengeluarkan air liur, maka kita memiliki stimulus
terkondisi. Tetapi jika kita terus membunyikan bel bahwa tanpa memberikan
anjing setiap makanan (stimulus berkondisi), maka akhirnya anjing akan tidak
menghubungkan lagi bel dari makanan dan sehingga tidak akan lagi mengeluarkan
air liur. Oleh karena itu, extinction terjadi karena bel tidak lagi
memiliki efek pada anjing. Catatan: Kepunahan berbeda dari lupa, karena
extinction melibatkan proses tidak mempelajari/ menghiraukan atau peka terhadap
stimulus terkondisi (conditioned stimulus).
A. Removing the Source of Learning
Extinction terjadi karena sumber asli
dari pembelajaran telah terhapus. Pada operant conditioning, extinction dihasilkan dari perubahan
konsekuensi perilaku. Jika responnya tidak bertahan lama, maka pada akhirnya
frekuensi responnya akan menurun.
Jadwal penguatan dan tipe penguatan
sangat berpengaruh pada
cepat atau lambatnya proses extinction dalam operant conditioning. Fenomena ini disebut dengan partial
reinforcement effect, yaitu fenomena respon yang diberi penguat pada
jadwal variabel interval/rasio akan lebih sulit dihapus atau lebih permanen daripada respon
yang diberi penguat dengan berkelanjutan. Hal ini terjadi karena lebih mudah untuk melihat bahwa penguatan ini tidak akan datang lagi jika
digunakan setiap kali respon muncul.
Respon yang
paling sulit untuk dihapus, adalah respon yang dipelajari melalui pembelajaran
menghindar. Pemusnahan respon menghindar harus terjadi ketika peristiwa negatif
berhenti terjadi. Jika respon menghindar terus dilakukan, maka perubahan tidak
akan terjadi.
Respon
menghindar dapat dimusnahkan dengan cepat menggunakan teknik response
prevention, yaitu pencegahan
respon menghindar untuk memastikan bahwa individu melihat bahwa konsekuensi
negatif tidak akan terjadi untuk mempercepat pemusnahan respon menghindar.
Teknik ini digunakan dalam treatment berbagai gangguan seperti obsessive
compulsive disorder. Ketika perilaku kompulsif, seperti sering mencuci tangan, secara
fisik dicegah, individu memiliki kesempatan untuk menemukan bahwa konsekuensi
yang ditakuti, seperti menderita sakit yang mengerikan, tidak benar-benar akan
terjadi.
B. Spontaneuous
recovery
and disinhibition
Proses extinction tidak selalu berjalan
dengan mudah, Biasanya, respon belajar terjadi berkali-kali sebelum extinction
selesai. Pada kasus sebelumnya dimana kekuatan respon secara bertahap menurun
karena CS (kursi) tidak pernah lagi dipasangkan dengan UCS (nyeri). Namun, jika
ada jangka waktu yang panjang antara presentasi dari CS (seperti tahun antara
kunjungan ke dokter gigi), rasa takut bisa muncul kembali pada saat CS
disajikan, yang disebut Spontaneuous Recovery.
Spontaneus recovery merupakan salah satu prinsip dasar
instrumental learning secara umum didefinisikan sebagai pemunculan
kembali suatu respon yang dipelajari yang sepertinya sudah menghilang.yang
diinterpetasikan akan muncul ketika sebuah respon kembali dimunculkan karena
dihadirkannya stimulus yang mengikuti pemadaman perilaku (extinction) dan
beberapa waktu istirahat, maka kemungkinan besar spontaneus recovery akan
muncul sebagai respon.
Dalam beberapa kasus; kekuatan
dipadamkan karena suatu alasan pengembalian respon selain pemulihan spontan.
Jika stimulus yang intens namun tidak berhubungan terjadi, hal itu mungkin
menyebabkan kekuatan respon padam untuk kembali sementara. Sebagai contoh, jika
asisten dokter gigi melas nampan instrumen gigi saat Anda sedang duduk di
kursi. Respons rasa takut Anda mungkin akan kembali untuk sementara waktu.
Fenomena ini disebut Disinhibition. Istilah
itu tidak akan tampak cocok kecuali Anda memahami bahwa alasan Pavlov, percaya
bahwa tidak ada respon untuk benar-benar belajar, hanya "inhibited"
dibagian lain dari otak. Sementara peningkatan ini disebut “Disinhibition” dalam kekuatan respon.
THEORETICAL INTERPRETATIONS OF
LEARNING
Apa
yang dipelajari? Ketika perilaku individu berubah sebagai hasil dari
pengkondisian klasik atau instrumental, apa sebenarnya yang terjadi dengan
individu? Salah satu pandangan Pavlov adalah bahwa hubungan saraf antara daerah
otak yang berhubungan dengan rangsangan tertentu dan tanggapan khusus yang
diperoleh selama proses pembelajaran. Sebagai contoh, ketika tikus diperkuat
untuk menekan tuas di hadapan cahaya, sambungan secara otomatis dibuat antara
daerah otak yang berhubungan dengan cahaya dan pola tertentu gerakan otot
penekan tuas. Pada saat cahaya dihidupkan, koneksi saraf ke otot-otot akan
menyebabkan tuas tekan.
Psikolog
lain berpendapat bahwa proses mental internal memainkan peran sentral dalam
proses belajar. Untuk psikologis, pembelajaran melibatkan perubahan kognisi,
bukan pada saraf tertentu. Seperti disebutkan sebelumnya, kognisi merujuk pada
proses intelektual berpikir, mengharapkan, percaya, mengamati, dan sebagainya.
Penganut pandangan ini menganggap bahwa individu (tikus atau manusia) mengubah
kognisi tentang situasi tertentu selama proses pembelajaran. misalnya, Anda
mengernyit ketika cahaya datang, yang sebelumnya telah dipasangkan dengan sengatan
listrik, karena Anda berharap untuk diikuti oleh kejutan. Seekor tikus ternyata
tersisa di labirin karena ia tahu bahwa makanan yang turun seperti itu 10 kali
terakhir itu berlari melalui labirin.
A. Cognition
or connection?
Cukup
banyak penelitian yang telah dilakukan selama bertahun-tahun untuk mengevaluasi
koneksi dan kognisi teori belajar. Meskipun sebagian besar telah dilakukan
dengan menggunakan hewan sebagai subyek, apa yang telah dipelajari tentang
sifat pembelajaran relevan dengan manusia juga.
Place
Learning
Sebuah
eksperimen untuk menguji pandangan kognitif pembelajaran dirancang oleh
almarhum Edward C. Tolman dari University of California di Berkeley. Tikus
awalnya dilatih untuk lari ke jalan ditinggikan, ditunjukkan pada Gambar 7. 13.
Mereka mulai pada titik A, membuat serangkaian putaran (kiri, kanan, kanan),
dan lari ke titik B, di mana makanan yang disediakan. Dalam pandangan koneksi
belajar, tikus belajar melakukan hal ini dengan hubungan antara rangsangan dari
pandangan kognitif pembelajaran, namun. Dia percaya bahwa tikus telah belajar
peta kognitif pola di mana makanan itu terletak relatif terhadap tempat awal.
Mereka tidak memperoleh pola tetap dari gerakan otot, tetapi mereka memperoleh
pengetahuan tentang lokasi makanan.
Bagaimana kita bisa membedakan
antara kognitif dan interpretasi koneksi? Uji eksperimental Tolman. Misalkan
kita memberikan tikus kesempatan untuk mengambil jalan pintas langsung ke
makanan; akan mereka bawa? Atau akan mereka tidak dapat mengenalinya sebagai
jalan yang lebih baik, karena mereka telah belajar hubungan antara stimulus
yang membingungkan dan pola gerakan otot? Tolman dan rekan-rekannya menjawab
pertanyaan ini dengan memblokir jalan lama (gambar 7.14) dan menyediakan
keanekaragaman pilihan baru.
Menariknya, sebagian besar dari tikus
memilih jalan yang dipimpin langsung ke tempat makanan. Tolman menafsirkan ini
sebagai yang berarti bahwa mereka telah belajar kognisi baru, pengetahuan
tentang lokasi makanan.
Latent
learning
Percobaan
lain yang dikembangkan oleh Tolman, mengevaluasi interpretasi kognitif belajar
dengan cara yang agak berbeda. Misalkan kita membiarkan tikus untuk berjalan di
sekitar labirin. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 7.15. akankah tikus
belajar sesuatu? Pandangan koneksi akan mengatakan tidak: belajar akan terjadi
hanya jika penguatan yang disampaikan pada akhir labirin untuk "cap"
koneksi dari kotak awal untuk kotak yang berisi makanan. Tolman, sebaliknya,
berpikir bahwa tikus akan belajar peta kognitif labirin, tapi kita tidak akan
bisa melihat bahwa tikus telah belajar sampai itu diberikan alasan yang baik
(seperti makanan) untuk menjalankan ke kotak makanan .
Dalam eksperimen Tolman, tiga kelompok
tikus lapar ditempatkan di labirin dan waktunya untuk melihat berapa lama waktu
mereka untuk mencapai kotak makanan. Satu kelompok diperkuat setiap kali
mencapai kotak makanan. Jadi secara bertahap belajar untuk lari ke kotak
makanan. Kelompok kedua tidak pernah diperkuat. Jadi mereka mengembara tanpa
tujuan di labirin (tidak pernah mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk mencapai
kotak makanan). Kelompok ketiga, kelompok ini tidak diperkuat untuk pergi ke
kotak makanan untuk 10 hari pertama, tetapi diperkuat bentuk kemudian. Melihat
angka 7.16 untuk melihat apa yang terjadi. Tikus ini tiba-tiba menurunkan waktu
yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan. Penangkapan segera kepada kelompok yang
telah diperkuat setiap kali. Menurut Tolman hasil ini sebagai menunjukkan bahwa
tikus telah belajar banyak tentang lokasi kotak makanan sebagai dari kelompok
yang diperkuat, tetapi jika belajar adalah soal penguatan hubungan antara
stimuli dan respon.
Insight
learning and learning sets
Mungkin
bukti yang paling cocok untuk pembelajaran kognitif berasal dari serangkaian eksperimen yang
dilakukan oleh Jerman Gestalt Psikolog selama Perang dunia I. Walfgang Kohler
mengunjungi pulau Tenerife (di pulau-pulau Canary) ketika perang pecah dan
diinternir selama perang. Dia mengambil keuntungan baik dari situasi yang
buruk, dengan melakukan percobaan belajar dengan simpanse asli pulau tersebut.
Kohler membuat simpanse dikurung dengan sejumlah masalah untuk melihat
bagaimana mereka belajar untuk menyelesaikannya. Sebagai contoh, ia menggantung
sekelompok pisang dengan melompat. Ketika itu gagal, mereka duduk, tampak
kesal. Dalam waktu satu simpanse mengambil kotak kayu di kandang, dan
menumpuknya, lalu naik dan mencapai pisang. Sejak saat itu, simpanse selalu
mencapai pisang tergantung dari langit-langit kandang dengan menumpuk kotak.
Kohler melakukan banyak percobaan yang
sama dengan simpanse lain. Sebagai contoh, ia ditempatkan simpanse lain dalam
kandang dengan pisang tergantung dari langit-langit. Dalam hal ini, adalah
kotak di kandang. Tapi ada dua tiang bambu yang bisa dipasang bersama-sama
untuk membuat tiang cukup lama untuk mencapai pisang. Pada awalnya, simpanse
mencoba untuk mencapai pisang dengan melompat dan kemudian dengan melemparkan
tiang bambu di pisang, tetapi segera menyerah. Kemudian, simpanse tiba-tiba
mengambil tongkat, menempatkan mereka bersama-sama, dan menggunakan tiang baru
untuk merobohkan pisang. Sekali lagi, ketika dihadapkan dengan masalah yang
sama kemudian, simpanse segera dipecahkan itu setiap waktu dengan menempatkan
tongkat bersama-sama.
Dalam kedua kasus, Kohler menyimpulkan
bahwa simpanse tidak belajar untuk memecahkan masalah secara bertahap
memperkuat hubungan saraf antara stimuli dan respon, melainkan telah belajar
melalui wawasan - perubahan kognitif mendadak yang memecahkan masalah. Simpanse
tidak secara bertahap meningkatkan kemampuan mereka untuk mencapai pisang,
melainkan, tiba-tiba karena tidak dapat mencapai pisang untuk dapat menjangkau
mereka dengan mudah menggunakan solusi baru. Teoretisi koneksi memiliki banyak
kesulitan menjelaskan jenis pembelajaran berwawasan, melainkan serangkaian
eksperimen klasik yang dilakukan oleh Harry Harlow (1949) di Universitas
Wisconsin mengambil beberapa misteri dari simpanse perilaku berwawasan. Harlow
menunjukkan bahwa kemampuan untuk memecahkan masalah itu sendiri sebagian
dipelajari.
Sebuah nampan disajikan untuk monyet
dengan dua objek di atasnya. Meskipun benda berbeda dari masalah ke masalah.
Makanan selalu terletak di bawah salah satu objek. Monyet-monyet memiliki enam
peluang untuk memecahkan setiap masalah. Monyet-monyet dalam percobaan Harlow
memecahkan total 312 masalah yang berbeda, karena minat Harlow adalah dalam
apakah kemampuan monyet untuk memecahkan masalah ditingkatkan dengan
pengalaman. Kemampuan pemecahan masalah mereka meningkat secara dramatis.
Pada kinerja mereka pada kelompok pertama masalah
(masalah 1 sampai 8). Sementara persentase mereka kinerja yang benar meningkat
secara bertahap selama enam percobaan. Mereka masih memilih objek yang benar
hanya sekitar 75% dari waktu dengan percobaan keenam.
Sebaliknya, melihat kinerja mereka pada masalah 257 sampai 312. Pada percobaan
pertama, yang harus menebak mana objek makanan berada di bawah, sehingga mereka
benar hanya 50% dari waktu. Tapi perhatikan bahwa jika mereka tidak bisa
melakukannya dengan benar pertama kalinya, mereka "insightfully knew"
bahwa hal itu harus di bawah objek lainnya, dan mereka membuat pilihan yang
tepat pada percobaan kedua.
B. Modelling:
Learning by Watching
Others
Ternyata proses belajar dengan cara classical conditioning dan operant
conditioning tidak dapat diterapkan kedalam berbagai hal. Contohnya ketika
si A sedang mengajari si B belajar
mengemudi. Maka si A tidak dapat enggunakan prinsip dari classical conditioning
dikarenakan proses mengemudi dilakukan secara sengaja. Dan prinsip operant
conditioning juga tidak bisa dilakukan dikarenakan si B belum pernah mengemudi
sehingga ketika terjadi suatu kesalahan, maka tidak ada yang dapat diberikan.
Oleh karena itu, Albert Bandura
mengatakan bahwa proses belajar sendiri tidak hanya dapat dilakukan dengan
prinsip classical conditioning dan operant conditioning tetapi dapat juga
dilakukan dengan cara modelling dimana modelling adalah proses belajar melalui
pengamatan. Albert bandura sendiri percaya jika proses belajar hanya dengan
menggunakan cara trial and error maka yang terjadi adalah proses belajar akan
memakan waktu yang lama. Selain itu ia juga mengatakan bahwa belajar melalui
proses pengamatan (modelling) dapat mengingatkan kita perilaku apa saja yang
sesuai pada beberapa situasi dan kondisi,mengurangi hambatan kita mengenai
beberap perilaku yang kita lihat melalui pengamatan terhadap orang lain atau
dapat memberikan pemahaman kepada kita mengenai perilaku mana saja yang harus
diberikan reinforcement.
Ada beberapa perilku yang dapat
dipelajari dengan cara pengamatan (modelling) adalah cara
berbicara,berpakaian,menggendong anak-anak dan sebagainya. Menurut beberapa
ahli, setiap individu akan lebih cenderung meniru perilaku yang memperoleh
hadia atau vicarious reinforcement dibandingkan dengan perilaku yang memperoleh
hukuman atau vicarious punishment.
Bandura melakukan penelitian menggunakan
2 kelompok partisipan anak-anak. Dimana kelompok pertama diminta untuk menonton
sebuah film kekerasan sedangkan kelompok kedua tidak diminta menonton film
kekerasan. Ketika mereka ditempatkan di sebuah ruangan yang terdapat bobo doll,
kelompok pertama yang menonton film kekerasan tersebut menunjukkan sifat agresi
yang tinggi terhadap bobo doll tersebut dibandingkan dengan kelompok kedua yang
tidak diminta untuk menonton film kekerasan.
C. Biological Factors in Learning
Belajar adalah suatu proses yang kuat
yang secara harfiah membentuk kehidupan kita. Kita
harus ingat bahwa kemampuan kita untuk belajar dari pengalaman tidak terbatas,
melainkan dipengaruhi oleh beberapa cara seperti faktor biologis. Kita tahu bahwa tidak mungkin mengajarkan
ikan mas untuk terbang dan burung hantu untuk berenang. Struktur
tubuh organisme memungkinkannya untuk belajar hal-hal tertentu dan menghambat
untuk belajar hal lain (Chance, 2006).
John Garcia dan rekan-rekannya
membahas bentuk lain dari pembelajaran yang mencontohkan peran faktor biologis
dalam belajar (Garcia, Hankins & Rusiniak, 1974). Contoh dari eksperimen mereka dapat ditunjukkan melalui salah
satu pengalaman saya sendiri sebagai seorang anak. Pada suatu malam yang naas, saya makan delapan hot dog.
Dua jam kemudian, saya menjadi mual. Akibat itu bertahun-tahun saya makan selain hot dog. Belajar
dari pengalaman ini, tidak menyukai hot dog
adalah contoh dari learned taste aversion. Learned taste aversion adalah reaksi negatif terhadap rasa tertentu yang telah dikaitkan dengan mual atau sakit lainnya. Learned taste aversion
memberikan contoh yang baik tentang peran faktor biologis dalam belajar.
DAFTAR PUSTAKA
Lahey, Benyamin B. 2012. Psychology : an Introduction, eleventh edition. New York : Mc.Graw-Hill
Feldman, Robert. 2008. Pengantar Psikologi : Understanding Psychology,
edisi 9 (jilid 1). Jakarta : Salemba Humanika
King, L.A. 2010. Psikologi Umum : sebuah pandangan apresiatif
(buku 1). Jakarta : Salemba Humanika
No comments:
Post a Comment